Festival Jurnalisme dan Kebudayaan di Omah Petroek Karangkletak Hargobinangun
(Yogyakarta, DIY) - Di era modern seperti sekarang ini, dimana tantangan disrupsi media semakin ketat dan terarah. Maka kolaborasi antara jurnalisme (wartawan) dan kebudayaan, justru bisa saling mewarnai dan menguatkan. Potensi inilah yang diangkat dalam Festival Jurnalisme dan Kebudayaan “Journ-Art-Lism” yang digelar di Omah Petroek, Karang Klethak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta pada 6-8 Juli 2025.
Festival yang diselenggarakan dalam rangka Hut ke-60 Harian Kompas ini, terselenggara atas dukungan Kementerian Kebudayaan.
Jauh sebelum era digitalisasi menguat, Ilmuwan Komunikasi dan kritikus Marshall McLuhan (1911–1980) sudah melihat bahwa setiap bentuk media memiliki dampak besar dalam membentuk kebudayaan.
Jurnalisme dan kebudayaan memiliki hubungan timbal balik: jurnalisme mencerminkan, membentuk, dan terkadang mengubah kebudayaan, sementara budaya juga memengaruhi cara jurnalisme dijalankan.
Dengan kekuatan ini, jurnalisme berperan penting dalam membentuk opini publik, nilai-nilai sosial, dan arah perubahan budaya di masyarakat.
Jurnalisme menajamkan narasi kebudayaan dan sebaliknya kebudayaan memberikan “jiwa” bagi jurnalisme.
Jurnalisme yang peka budaya akan lebih relevan, manusiawi, dan berdaya guna.
Oleh karena itu, di Omah Petroek, produk-produk jurnalistik banyak dialihwahanakan menjadi karya seni rupa, sastra, seni tari, dan seni musik. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan budaya juga didokumentasikan menjadi karya-karya jurnalistik yang humanis.
Tempat ini juga menjadi pangggung keberagaman Indonesia serta museum seni rupa, filsafat,dan jurnalisme.
Festival Jurnalisme dan Kebudayaan “Journ-Art-Lism” menyuguhkan rangkaian acara, mulai dari pameran dan bazar buku, diskusi sastra “Mental Stoik, Hidup Anti Toksik” yang membedah buku terbitan Penerbit Buku Kompas “Filosofi Teras” bersama penulis buku Henry Manampiring dan filsuf Romo Setyo Wibowo SJ pada, Minggu (6/7).
Kemudian dilanjutkan Workshop Jurnalistik dan Literasi Digital, oleh Tim Litbang dan Redaksi Harian Kompas serta bincang cerpen “Membaca Indonesia Lewat Cerpen Kompas” oleh editor Harian Kompas Hilmi Faiq dan penulis Risda Nur Widia pada Senin (7/7).
Puncak festival ini berlangsung pada Selasa (8/7) dengan penampilan para seniman Studio Mendut yang menyuguhkan Topeng Saujana, Topeng Ireng, dan Menak Koncer, kemudian dilanjutkan pembukaan pameran seni rupa dan pertunjukan “Amanat Hati Nurani Rakyat”.
Dilanjutkan dengan penandatanganan prasasti Omah Jakob oleh Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan, Dr. Restu Gunawan M.hum disusul penampilan sendratari “Bedhayan Bocah Bajang” karya Bimo Wiwohatmo dan ditutup konser musik Jogja Hip Hop Foundation (JHF).
Dua pertunjukan terakhir, yaitu sendratari “Bedhayan Bocah Bajang” dan lagu-lagu JHF merupakan bentuk konkret eksplorasi produk-produk jurnalisme dan kebudayaan. Koreografer Bimo Wiwohatmo mengadaptasi novel karya Sindhunata menjadi sendratari “Bedhayan Bocah Bajang”.
Demikian pula, karya-karya sastra dan jurnalistik Sindhunata juga menginspirasi grup musik hip hop asal Yogyakarta, JHF untuk membuat lagu. Syair-syair Sindhunata digubah menjadi lagu hip hop yang sangat populer di kalangan anak-anak muda.
Selama festival ini, masyarakat umum juga bisa menikmati aneka macam koleksi Museum Anak Bajang di Omah Petroek. Di sini, publik bisa menyaksikan bagaimana lukisan Djoko Pekik “Berburu Celeng” direspons Sindhunata dan Pramono Pinunggul menjadi buku dan patung.
Pematung Dunadi-pembuat patung Soekarno di depan Kemenhan- juga melengkapi koleksi Omah Petroek dengan patung Djoko Pekik di pelataran Taman Yakopan.
Di Omah Petroek, tepatnya di Langgar Tombo Ati, pengunjung bisa berfoto bersama patung Gus Dur, lengkap dengan sajadah asli Gus Dur pemberian ibu Sinta Nuriyah Wahid. Karya almarhum Wilman Syahnur ini menginspirasi munculnya kegiatan pendidikan toleransi, event budaya, dan tulisan jurnalistik.
Aneka macam bentuk alih wahana novel karya Sindhunata baik “Anak Bajang Menggiring Angin” maupun “Anak Bajang Mengayun Bulan” juga bisa disaksikan di Museum Anak Bajang di Kompleks Omah Petroek. Kedua novel ini muncul pertama kali dalam bentuk cerita bersambung di Harian Kompas pada tahun 1981 dan 2021
Adaptasi produk jurnalistik menjadi karya-karya seni rupa serta proses penjurnalistikan aktivitas-aktivitas kebudayaan menjadi kekuatan narasi koleksi Museum Anak Bajang di Omah Petroek. Pola ini perlu terus-menerus dikembangkan untuk menguatkan museum-museum di manapun yang selama ini banyak mengalami stagnasi karena hanya semata-mata memamerkan koleksi-koleksi saja tanpa upaya eksplorasi.
Dalam sambutannya, Sindhunata menyebutkan festival Jurnalisme dan Kebudayaan terselengara baik berkat dukungan berbagai pihak termasuk Kementerian Kebudayaan.
"Semua acara berlangsung baik berkat dukungan kementerian kebudayaan. Di samping itu tempat multi agama dan tempat kontak kebudayaan. Seni ikut bergembira untuk menyongsong Festival Jurnalisme dan Kebudayaan ini," jelasnya.
Sindhunata mengucapkan rasa terimakasih atas kehadiran semua pihak. "Saya atasnama Museum anak bajang dan Omah Petroek. Mengucapkan terimakasih kepada para seniman dan wartawan yang banyak hadir. Di tempat begitu banyak artefak-artefak budaya yang direspon anak-anak muda.
Sementara itu, Amin Sarjito, Lurah Hargobinangun, menyebutkan keberadaan Museum anak bajang dan Omah Petroek merupakan potensi di wilayah Hargobinangun.
"Kami untuk pengembangan adat dan budaya. Banyak kolaborasi yang dilakukan dengan warga kami. Ini sangat berarti bagi kami dan warga masyarakat sudah merasa memiliki Museum anak bajang dan Omah Petroek," jelasnya.
Ia berharap kegiatan seperti ini terus dilakukan berkesinambungan dan melibatkan warga kami sehingga adat tradisi di wilayah kami lebih listrik dan anak-anak muda lebih giat menggelar seni dan budaya.
Sementara Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan, Dr. Restu Gunawan menyampaikan event tersebut diharapkan memperkaya budaya. "Pertama tentu saya terimakasih event ini sangat penting bagi kami karena kekayaan budaya kita sangat luar biasa. Kedua event semacam ini perlu diperbanyak mudah-mudahan Omah Petroek semoga bisa menjadi rumah kami bersama. Saya kira tempat-tempat seperti ini bisa buat belajar anak-anak kita tentang toleransi dan menyampaikan gagasan," jelasnya. (rsi)
0 Comment