Teliti Film Yogya, Dosen UNY Selesaikan Disertasi di Inggris Tanpa Revisi
(Yogyakarta, DIY) Dyna Herlina Suwarto, dosen Departemen Ilmu Komunikasi, FISHIPOL, Universitas Negeri Yogyakarta baru-baru ini meraih gelar PhD dari University of Nottingham Inggris. Disertasinya tentang budaya film Yogyakarta berhasil menghantarkannya ujian akhir tanpa revisi. Sebuah prestasi yang luar biasa mengingat sangat sedikit kandidat doktor dapat mencapainya.
Tim penguji (Dr Matthew Freeman and Dr Kieran Foster) sangat terkesan dengan tulisan ilmiahnya yang bergaya naratif bak skenario film. Tim pembimbing (Professor Paul Grainge and Dr Julian Stringer) dalam keterangan tertulis menyebut karya ini sebagai sumber pengetahuan baru mengenai film lokal di Indonesia yang belum banyak dipresentasikan dalam diskusi ilmiah internasional. “Disertasi ini sangat layak diterbitkan menjadi buku internasional”, kata mereka.
Dalam penelitian tersebut, Dyna mendiskusikan kelahiran dan pertumbuhan budaya film lokal yang dimulai sejak awal 2000an. Secara spesifik ia menuliskan tiga komunitas film Yogya yang menjadi penggerak perfilman lokal yaitu Fourcolours Film, Lima Enam Films dan Bosan Berisik Lab.
“Para pembuat film Yogya memiliki kegigihan yang luar biasa dalam bekerja, mereka menjalankan proyek idealis dan komersial bersamaan; bergotong royong dan persisten meski kadang sumber daya sangat terbatas”, ujar Dyna. Dalam dua dekade seluruh usaha itu mulai membuahkan hasil.
Komunitas film di Yogya memulai perjalanannya dari produksi film amatir kemudian lambat laun tumbuh menjadi organisasi produksi yang lebih profesional. Para pengiatnya seperti Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, Yosep Anggi Noen, BW Purbanegara dan Ismail Basbeth telah berhasil menjadi sutradara penting di industri film nasional. Bersama mereka ada puluhan kru handal yang bertanggungjawab sebagai penata gambar, suara, cahaya, kamera, dan busana yang saat ini mewarnai industri film tanah air.
Pada saat yang sama, para pembuat film Yogya juga mendirikan dan menghidupi festival film, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF). Saat ini JAFF merupakan festival film terbesar di Asia Tenggara yang dihelat setiap tahun sejak 2006 tanpa jeda meski melampaui pandemi. Festival ini menjadi ruang penting bagi pembuat film di Yogya untuk terkoneksi satu sama lain dan berjejaring dengan pelaku perfilman dari berbagai daerah. Kegiatan ini tak hanya menjadi peristiwa perfilman tapi juga menjadi ajang pertukaran gagasan dan keterampilan sehingga membawa film Yogya ke kancah nasional dan internasional.
Disertasi ini juga berhasil mengulik fakta sejarah bahwa pengetahuan perfilman sebenarnya telah muncul di Yogya sejak tahun 1946 bersamaan dengan kedatangan para seniman dari berbagai wilayah Indonesia untuk mendukung perpindahan ibu kota.
“Meski film Yogya nampak semarak di awal tahun 2000an, para seniman Yogya telah terlibat memproduksi film melalui Berita Film Indonesia, ASDRAFI, Puskat dan TVRI pada kurun 1946-2000 namun mereka bergerak secara sporadis dan insidental karena keterbatasan teknologi dan sumber daya”, jelasnya. Baru pada tahun 2000an ketika kebebasan berekspresi dan teknologi digital masuk ke Indonesia gerakan perfilman mendapatkan angin segar sehingga tumbuh pesat.
Selama 22 tahun terakhir, Dyna memang menjadi bagian dari kelahiran dan pertumbuhan budaya film Yogya. Ia beraktivitas di Rumah Sinema (2002-2017) melalui arsip, perpustakaan dan pemutaran film keliling. Ia juga salah satu pendiri JAFF dan Kajian Film Indonesia (KAFEIN) yang secara aktif menfasilitasi berbagai kegiatan dan penelitian perfilman lokal. Pada 2014-2019 ia menjadi salah satu kurator program pendanaan produksi film DANAIS, Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. (Raya Sanjiwani)
0 Comment