post image

Kesaksian Jalanan, Barock yang Tak Pernah Pudar: 50 Tahun Sawung Jabo dan Sebuah Renungan Musik

  • Administrator
  • 18 Nov 2025
  • Event

Oleh: (Raya Sanjiwani/Redaksi thankfulljogja.com)
​(Yogyakarta) Di sebuah auditorium yang hening—Auditorium Taman Budaya Embung Giwangan—ada riwayat yang kembali dibuka. Bukan sekadar konser. Ia adalah Kesaksian Jalanan, sebuah tajuk yang terasa sunyi sekaligus riuh. Ia menandai lima dasawarsa perjalanan seorang Sawung Jabo bersama kelompok ganjilnya, Sirkus Barock.
​Lima puluh tahun. Sebuah bilangan yang mengajak kita berhenti sejenak, menoleh ke belakang, ke masa ketika musik bukan hanya harmoni, melainkan sebuah protes yang puitis.

Sejak album perdana mereka dilepas pada 1986, Jabo dan Sirkus Barock telah menelurkan setidaknya 15 album. Album bukan sekadar rekaman; ia adalah arsip dari sebuah sikap. Di sana, musik dipersandingkan, diikat mesra, dengan teater dan—yang terpenting—kritik sosial. Bukan kritik yang berteriak di podium, melainkan kritik yang berbisik dalam lirik, menari dalam melodi yang kadang terasa nyeleneh, jauh dari hiruk pikuk pasar.

​Jabo, dengan Barock-nya, adalah anomali yang abadi. Mereka tak pernah sudi diseret ke dalam arus utama. Mereka memilih jalan sunyi, sebuah epos minor yang ternyata jauh lebih berpengaruh daripada gema pop yang sebentar datang lalu hilang. Kelompok yang lahir dari kolaborasi musisi dan seniman (Arek Suroboyo, Akademi Musik Indonesia, Akademi Seni Rupa Indonesia) di Yogyakarta tahun 1976 ini—sebelum akhirnya bertransformasi menjadi Sirkus Barock di Jakarta—selalu berdiri di tepi.
​Mereka bukan semata musisi. Mereka adalah pembuat cermin.

Malam itu, dengan konsep akustik, keintiman terbangun tanpa jarak. Di depan panggung, para penonton—lingkaran sahabat Barock dan para penggemar sejati—diajak masuk, bukan hanya mendengar, melainkan ikut merenung.

​Ada sepotong lagu dari album pertama yang kembali didendangkan: "Penari Goyang". Sebuah metafora lama tentang kegembiraan yang menyimpan getir. ​Dalam momen itu, Jabo menggandeng Sandrina Malakiano, seorang mantan wartawan kawakan, sebagai bintang tamu. Sandrina, yang pernah menjadi saksi sejarah perjalanan Jabo, hadir sebagai penyaksi kedua, menguatkan makna dari tajuk konser: Kesaksian Jalanan. Ia bukan sekadar membawakan lagu, melainkan menegaskan bahwa seni dan kehidupan jalanan adalah dua hal yang tak terpisahkan, saling memberi dan menerima kesaksian.
​Di balik lantunan 18 lagu yang dibawakan, mulai dari yang terlama hingga yang terbaru, Jabo melalui karyanya, selalu berbisik tentang hal yang sama: perenungan, keresahan, dan refleksi. Ia adalah sebuah dialog terus-menerus tentang kondisi sosial dan politik Indonesia, dari panggung ke panggung, tanpa henti.



​Satu bulan penuh, Sawung Jabo dan kelompoknya telah menjalani ritual—latihan intensif di Joglo Jago Art Studio Wirosaban, Yogyakarta. Mereka mempersiapkan persembahan bukan untuk audiens, melainkan untuk sahabat dan lingkaran Barock mereka sendiri.

​Konser ini, pada akhirnya, bukan tentang perayaan lima puluh tahun. Ia adalah penegasan sebuah kredo: bahwa musik sejati adalah musik yang berani memilih jalannya sendiri, musik yang berbicara tentang kemanusiaan yang gelisah di tengah jalanan yang ramai.

​Sirkus Barock terus menggelar tendanya. Panggung mereka mungkin berpindah dari Yogya ke Jakarta, dari kampus ke Taman Ismail Marzuki, namun inti dari Barock—sesuatu yang liar, yang ganjil, yang melawan kemapanan—tak pernah surut. Mereka adalah pengingat bahwa di setiap panggung musik, harus ada sedikit ruang untuk keresahan yang jujur. (rsi) 

0 Comment