post image

Disambut Hangat Masyarakat Lereng Merapi, Kesenian Ludruk Masih Relevan Menjadi Kritik Masyarakat

  • Administrator
  • 14 Dec 2025
  • Event

(SLEMAN) - Kesenian tradisional Ludruk kembali membuktikan relevansinya dalam merespons isu-isu sosial kontemporer dan dinamika perjuangan rakyat. Hal ini diangkat dalam pementasan lakon Ku Tunggu di Jogja yang dibawakan oleh Komunitas Kegiatan Mahasiswa (KKM) Studi Teater Tradisi (Status) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) di Omah Petroek, Sabtu (13/12) malam.

Pentas yang merupakan rangkaian dari undangan Taman Budaya Jawa Timur ini menjadi sorotan dan mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat lereng Merapi. Sebab kesenian Ludruk ini dinilai sebagai refleksi jujur dari kondisi masyarakat.

Budayawan Romo Sindhunata yang ikut dalam pementasan Ludruk Ku Tunggu di Jogja menjelaskan jika kesenian Ludruk ini memang merupakan media untuk menyuarakan pergolakan rakyat. Menurutnya, Ludruk selalu merespons keadaan sosial.

"Ini kan perjuangan rakyat, bagaimana rakyat memarodi dirinya, tapi juga melawan," ucapnya usai pementasan. 

Romo Sindhunata juga menjelaskan biasanya, tema yang diangkat dalam Ludruk umumnya adalah situasi terkini yang harus diparodikan atau diputar-tawakan. Meskipun mengandung kritik, Ludruk memiliki nilai sastrawi yang tinggi. 

"Ya tidak sarkas, justru sangat sastrawi, tapi sastra rakyat, ya," cetusnya. 

Selain itu, lanjut Romo Sindhunata, kritik yang disajikan dalam kesenian Ludruk selalu disesuaikan dengan konteks, seperti isu penanganan bencana, korupsi, hingga masalah pemerintahan.

Sementara, Dosen Unesa sekaligus Pembina Ludruk Status Autar Abdillah mengatakan, pemilihan lakon Ku Tunggu di Jogja merupakan ketentuan dari Panitia Festival Cak Durasim. Tapi menurutnya, lakon tersebut dipilih dipentaskan di Omah Petroek karena berkaitan erat dengan hubungan antara Surabaya sebagai kota pahlawan dan Jogja sebagai kota yang memiliki kultur budaya serta kultur pahlawan yang tinggi. 

"Waktu itu Romo Sindhunata bedah buku di Jawa Timur dan kami juga ingin pentas di Jogja. Maka gayung bersambut jadilah pentas di Omah Petroek ini," lontarnya. 

Autar juga menjelaskan bahwa kesenian Ludruk di Jawa Timur saat ini sangat hidup dan berkembang. Sehingga pihaknya menampik anggapan bahwa kesenian ini telah punah.

"Sehari itu bisa tiga pementasan. Di Jawa Timur. Jangan dikira punah," bebernya. 

Tak hanya itu, bagi Autar, kesenian Ludruk sebenarnya bersifat adaptif dan bisa dimodifikasi. Itu dilakukan agar tetap disukai masyarakat atau bisa dibilang digeser sedikit pakemnya. 

"Semangat kritis ini sudah melekat pada Ludruk sejak dulu. NKRI harga mati, Ludruk harga diri," ujarnya. 

Selain itu, lanjut Autar, kesenian Ludruk sendiri saat ini masih sangat hidup karena publik memiliki ikatan kuat, bahkan ada kepercayaan bahwa mengundang Ludruk dalam hajatan atau bersih desa itu harus dilakukan. Bahkan masyarakat meyakini jika tidak mementaskan Ludruk, dapat terjadi kemalingan dan menyebabkan penyakit banyak.

"Empat elemen dasar yang harus ada dan tidak boleh ditinggalkan dalam Ludruk adalah Remo, Jula-Juli, Lawak, dan Lakon," tandasnya. (Ris) 

0 Comment