post image

Seniman Deni Setiawan Hadirkan 'Silent Resonance': Sebuah Refleksi Tubuh Sosial di IndieArt House Yogyakarta

  • Administrator
  • 18 Dec 2025
  • Event

(Yogyakarta) - Di tengah kepungan notifikasi gawai dan hiruk-pikuk media sosial yang kian bising, manusia modern seringkali terjebak dalam paradoks: merasa paling kesepian justru saat berada di tengah keramaian. Kegelisahan mendalam inilah yang coba dibedah oleh seniman Deni Setiawan melalui pameran tunggalnya bertajuk "Silent Resonance".

Berlokasi di galeri IndieArt House, Yogyakarta, pameran yang dibuka pada Rabu (17/12/2025) ini menampilkan 70 karya lukis ekspresif. Menariknya, seluruh karya tersebut diselesaikan Deni hanya dalam kurun waktu satu bulan—sebuah proses kreatif yang tak hanya mengandalkan kecepatan fisik, namun juga intensitas perenungan batin.

Deni tidak sedang menyuguhkan potret realis yang mudah dicerna mata. Sebaliknya, ia memotret apa yang disebutnya sebagai "tubuh-tubuh sosial". Di atas kanvasnya, bertebaran figur-figur samar yang tertutup tumpukan garis abstrak, seolah merepresentasikan manusia masa kini yang kerap bersembunyi di balik topeng interaksi sosial.

"Sebenarnya isu yang saya gulirkan kali ini lebih banyak pembacaan pada tubuh sosial. Membaca orang, membaca sifat, hingga hubungan antar manusia," ujar Deni saat ditemui di lokasi pameran.

Melalui deretan lukisan kecil yang berjejer rapi, Deni menunjukkan bagaimana wajah-wajah di sekeliling kita bertransformasi dalam bentuk abstrak.

"Ada yang sedang melengos, ada potret diri, ada yang membelakangi kamera. Ini adalah wajah-wajah sosial. Kadang ada orang berselfie tampak baik, tapi ada juga yang tak mau difoto. Semuanya tidak terbaca secara realistis," tambahnya.

​Bagi Deni, "Silent Resonance" adalah sebuah ajakan refleksi, khususnya bagi generasi muda. Di era di mana orang lebih cepat menghakimi orang lain melalui layar ponsel, Deni mengajak publik untuk kembali menoleh ke dalam diri sendiri.

​"Pesan khususnya, sebelum kita menilai orang lain, kita harus merefleksikan diri sendiri dulu. Apakah kita sudah baik bagi orang lain? Apa yang bisa kita berikan sesungguhnya lebih baik daripada kita berharap orang lain baik pada kita," tuturnya lugas.

Kurator Galeri Nasional Indonesia sekaligus akademisi ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, yang turut hadir memberikan sambutan menekankan bahwa pameran tunggal adalah sebuah "pernyataan utuh" atau statement dari seorang seniman.
​"Dia sedang menguji dirinya di depan publik. Publik punya kesempatan merespons kritis, dan dia harus siap dengan itu semua. Sekali karya diletakkan di ruang publik, maka dia siap untuk dibongkar oleh siapapun," tegas Suwarno.

​Hadirnya maestro seni lukis Indonesia, Nasirun, menambah bobot pameran sore itu. Di tengah gempuran teknologi Artificial Intelligence (AI) yang mampu menciptakan gambar instan, Nasirun melihat langkah Deni sebagai upaya menjaga "kewarasan" peradaban.
​Nasirun berpesan agar seniman tidak sekadar menjadi penonton tren, melainkan harus berani masuk ke "ruang sunyi" untuk menemukan ilham orisinal. Ia bahkan menyandingkan semangat ini dengan keberanian mendiang maestro Affandi.

"Dulu ketika orang-orang berpandangan ke Barat, Affandi berani ke Timur. Moga-moga Mas Deni bisa mengikuti jejak beliau. Ini berisiko luar biasa, tapi ruang sunyi inilah yang bisa memberikan ilham. Seleksi alam yang akan menjadi kuratornya," ungkap Nasirun.

Bagi masyarakat yang ingin merasakan resonansi kesunyian di tengah riuh Yogyakarta, pameran "Silent Resonance" akan berlangsung di IndieArt House hingga 31 Desember 2025. (Rsi) 

0 Comment