Dukung Kondusifitas Yogya, P3-SRS Malioboro City Pilih Batalkan Aksi
Caption Foto: Aksi Budaya Gerobak Sapi oleh P3-SRS Malioboro saat berorasi di depan Kepatihan Yogyakarta belum lama ini.
(YOGYAKARTA, DIY) – Rencana aksi mengerahkan puluhan gerobak menjelang pergantian tahun baru yang akan digelar Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3-SRS) Apartemen Malioboro City, akhirnya ditunda atau dibatalkan.
Hal itu disampaikan Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3-SRS) Apartemen Malioboro City, Edi Hardiyanto, yang menyebutkan semula rencana melakukan aksi bertepatan malam pergantian tahun pada 31 Desember 2024. Namun ia merasa karena pada momen tersebut banyak wisatawan yang datang berkunjung ke Yogyakarta, maka atas dasar empathy bagi wisatawan maka rencana aksi dirunda.
"Awalnya, dirasa tepat untuk menyampaikan persoalan yang terjadi, agar diketahui khalayak luas. Namun, karena satu dan laih hal, termasuk adanya pertimbangan wisatawan berkunjung ke Yogyakarta karena ingin menikmati suasana liburan akhir tahun dengan nyaman, akhirnya P3-SRS Apartemen Malioboro City memutuskan mengurungkan aksi tersebut," jelasnya.
"Kami lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat dan wisatawan yang datang ke Yogyakarta daripada kepentingan kami," tambah Edi.
Dijelaskan, pihaknya tidak mau menganggu situasi dan kondusifitas di Yogyakarta. Khususnya potensi masalah kemacetan yang luar biasa. Ia mengaku ingin memberikan kesempatan kepada para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta supaya dapat menikmati suasana yang aman, nyaman dan riang gembira.
"Kami telah memutuskan membatalkan aksi yang semula rencananya akan kami gelar tanggal 31 Desember 2024," ungkapnya.
Disebutkan pihaknya mencintai Yogyakarta. Sehingga tidak mau merusak citra Yogyakarta yang dikenal sebagai kota Pariwisata ataupun kota Budaya ini.
Mengingat aksi turun ke jalan yang rencananya kembali dilakukan dengan mengerahkan puluhan gerobak sapi ini dapat berpotensi membuat lalu lintas semakin macet parah.
Aksi Keprihatinan
Lebih lanjut Edi Hardiyanto memaparkan pihaknya semula memang telah berencana akan menyelenggarakan aksi Kirab Budaya Jilid 2 Keliling Jogja. Aksi dengan mengerahkan puluhan gerobak sapi tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan aspirasi keprihatinan terhadap proses Perizinan Apartemen Malioboro City yang sampai saat ini belum ada kejelasan.
Ia sebutkan, upaya ini dilakukan P3-SRS Malioboro City untuk mempertanyakan kenapa Pemkab Sleman meminta bantuan Polda DIY terkait masalah perizinan ini.
Padahal sudah jelas jelas pihak pengembang yakni PT IH sudah melakukan pelanggaran secara pidana dan perdata. Yakni mangkir dari tanggung jawabnya dalam menyelesaikan legalitas kepemilikan konsumen.
Selain itu, pihak pengembang sudah menjaminkan atau mengagunkan sertifikat hak guna bangunan ke Bank MNC. Sedangkan jaminan yang diagunkan di atasnya ada bangunan yang sudah diperjualbelikan kepada konsumen. Perlu diketahui pula pengembang Inti Hosmed sudah tidak bertanggungjawab terhadap pajak-pajak yang selama ini sudah di bayarkan oleh konsumen.
Ditambahkan legalitas gedung yang saat ini dipergunakan hotel dan apartemen tersebut belum memiliki SLF (Sertifikat Laik Fungsi) akan tetapi sudah diperjualbelikan dan ditempati.
"Nah, bagaimana pengawasan perijinan di Sleman. Hal ini sudah menjadi bukti dan fakta," sebut Edi Hardiyanto didampingi didampingi Sekretaris P3-SRS Malioboro City, Budijono.
Ia menyatakan saat ini para konsumen sudah tidak percaya dengan pengembang, direktur dan salahsatu owner pemilik sudah menjadi tersangka dan DPO.
"Kurang apa lagi. Perusahaannya sudah diblokir oleh direktorat AHU Kemenkumham. Itu bukti nyata. Namun Pemkab Sleman justru terkesan takut sama mafia pengembang seperti ini," keluhnya.
Ia berpendapat Pemkab Sleman terkesan melempar proses ini ke Polda DIY. Hal itu yang menjadikan pihaknya geram dan prihatin.
Menurut Edi, dengan menyerahkan permasalahan perijinan ini ke Polda DIY untuk proses mediasi dan fasilitasi antara MNC Bank dan Inti Hosmed tersebut Pemkab Sleman terkesan hanya cari amannya saja. Karena itu ia mengaku sangat prihatin dengan birokrasi di Sleman, khususnya terkait proses perijinan SLF.
"Surat kami ke DPUPKP Sleman saja sampai saat ini tidak ada tanggapan. Padahal sudah hampir 1 bulan lebih," pungkasnya. (Raya Sanjiwani)
0 Comment