Luka Geger Sepehi, Manuskrip yang Menunggu Pulang

(YOGYAKARTA) – Juni 1812. Di balik dinding benteng Keraton Yogyakarta, ada pekik, darah, dan api. Thomas Stamford Raffles, seorang administrator Inggris, memimpin sebuah penyerbuan.
Lalu, penjarahan.
Dua abad lebih telah berlalu, namun bagi Trah Sultan Hamengkubuwono II (HB II), peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepehi itu bukanlah sekadar catatan kaki sejarah kolonialisme. Ia adalah luka yang masih menganga.
Kini, mereka menuntut. Bukan sekadar soal harta atau pengembalian aset. Tuntutan itu lebih dalam, lebih menusuk: pengakuan bahwa apa yang terjadi pada 19-20 Juni 1812 adalah "kejahatan kemanusiaan."
"Kami ingin Inggris mengakui bahwa ini bukan sekadar insiden penjarahan," ujar Fajar Bagoes Poetranto, perwakilan Trah HB II.
Bagi Fajar, narasi selama ini terlalu sering berhenti pada angka. Padahal, yang terjadi adalah sebuah operasi militer yang terencana dan sistematis. Tujuannya: menggulingkan kedaulatan, mengasingkan Sultan, dan merusak tatanan sosial-politik yang telah mapan. "Ada perencanaan, ada penggunaan kekuatan militer secara brutal... dan hilangnya nyawa serta martabat," katanya.
Tentu, angka-angka itu tetap memusingkan.
Sejarawan Peter Carey, dalam sebuah dialog, mencatat setidaknya 800 ribu Dollar Spanyol—uang emas dan perak—dirampas. Uang itu, catatnya, dipakai sebagai bonus kemenangan bagi tentara yang tak tewas. Jika dikonversi ke emas hari ini, nilainya setara 350 kilogram.
Namun Fajar Bagoes Poetranto meyakini angka itu jauh lebih besar. Ia berbicara tentang aset moneter yang dirampas senilai lebih dari 542 juta dollar. Sebuah angka fantastis.
Tapi Geger Sepehi bukan melulu soal emas dan perak. Ada rampasan yang lebih tak ternilai: ribuan manuskrip. Kekayaan intelektual. Jiwa sebuah peradaban.
Sultan Hamengku Buwono X sendiri, mengutip riset sejarawan UGM Prof. Djoko Suryo, pernah menyebut angka 7.000 naskah. "Dokumen penting Kasultanan nyaris tiada," kata Sultan.
Naskah-naskah itu—dari Babad Sepehi, Serat Pustaka Surya Raja, ajaran filosofis HB I, hingga Pawukon dan catatan metalurgi—kini terbaring senyap di British Library, London. Jauh dari akarnya.
Ini bukan sekadar kertas tua. Ini adalah ajaran luhur, sejarah, dan ilmu pengetahuan yang hilang dari masyarakat Jawa selama lebih dari dua abad.
Maka, ketika Inggris "berbaik hati" menyerahkan 75, lalu 120 manuskrip dalam bentuk digital, Trah HB II melihatnya sebagai gestur yang tak memadai. Sebuah fotokopi, bukan pengakuan.
"Manuskrip harus dikembalikan dalam bentuk aslinya, bukan digital," tegas Fajar. "Kami menuntut pengembalian seluruh ±7.000 manuskrip serta harta benda lainnya."
Tuntutan paling mendesak, bagaimanapun, bukanlah triliunan rupiah. Yang dituntut adalah martabat. Sebuah permintaan maaf resmi dari Kerajaan Inggris kepada anak dan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Tiga kali surat dilayangkan ke Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Tiga kali pula surat itu, menurut Fajar, tak mendapat balasan yang jelas.
Kebisuan itulah yang kini mendorong Trah HB II menatap ke Den Haag. Mereka bersiap membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, memperjuangkan apa yang mereka sebut Claiming Equity Prasasti International.
Belanda, bekas penjajah lain, telah mulai mengembalikan benda-benda bersejarah. Trah Sultan HB II kini menunggu Inggris melakukan hal yang sama. Sebab, 7.000 naskah itu bukan sekadar artefak. Ia adalah sejarah yang menunggu pulang, menuntut keadilan atas luka yang telah berusia 212 tahun. (Raya Sanjiwani)
0 Comment