Yogyakarta, Saksi Sejarah 'Konferensi Kolombo' 1959: Pertemuan Global yang Setara KAA dan Ajang Promosi Wisata

(Yogyakarta)- Lebih dari sekadar kota budaya, Yogyakarta ternyata pernah menjadi titik temu penting dunia tak lama setelah kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1959, kota gudeg ini menjadi tuan rumah bagi Konferensi Kolombo (Colombo Plan), sebuah pertemuan internasional yang dihadiri oleh 21 negara dari Asia dan Pasifik untuk membahas pembangunan pasca Perang Dunia Kedua.
Konferensi skala internasional ini, yang berlangsung selama hampir dua puluh hari, yakni dari 26 Oktober hingga 14 November 1959, sering disebut-sebut setara dengan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Perhelatan ini menegaskan kembali peran aktif Indonesia, khususnya Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan, dalam kancah kerja sama internasional berskala besar untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan. Konferensi ini juga mengusung semangat keterbukaan dan persahabatan antarbangsa.
Kala itu, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menyambut 150 delegasi. Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertindak sebagai Ketua Panitia, didampingi oleh Paku Alam VIII sebagai Wakil Ketua. Demi menyukseskan acara, dilakukan berbagai persiapan, termasuk pembangunan perumahan, lapangan tenis, dan jalan penghubung yang kini kita kenal sebagai Jalan Kolombo. Lokasi utama konferensi adalah Gedung Pantja Dharma milik Universitas Gadjah Mada.
Memori Kolektif Bangsa di Pameran Arsip
Kisah bersejarah ini kini didokumentasikan dalam sebuah pameran arsip di DPAD DIY bertajuk "Yogyakarta Menyambut Dunia". Pameran ini menampilkan berbagai arsip penting, mulai dari persiapan menyambut tamu hingga foto-foto jalannya sidang.
Kepala.Bidang Pengelolaan Arsip Statis, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY, Wardoyo, dokumentasi sejarah ini menunjukkan bahwa Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX turut menyambut para delegasi. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) bahkan telah menetapkan peristiwa Konferensi Kolombo ini sebagai Memori Kolektif Bangsa pada tahun 2025, menjadikannya warisan sejarah yang perlu diketahui oleh masyarakat luas.
"Salah satu aspek menarik dari Konferensi Kolombo adalah peranannya sebagai ruang promosi wisata. Arsip yang ditampilkan bersifat rekreatif, menunjukkan bahwa agenda kegiatan lebih mengarah pada promosi pariwisata unggulan di Jawa Tengah dan DIY kala itu. Para delegasi diajak mengikuti city tour ke berbagai destinasi populer, sekaligus menjadi ajang mengenalkan kekayaan budaya Indonesia," jelas Wardoyo.

Selain Candi Borobudur dan Candi Prambanan, para delegasi juga melakukan kunjungan ke Kraton Yogyakarta, menyaksikan pertunjukan Wayang Golek di Kepatihan, mengunjungi Pantai Parangtritis, bahkan, melihat langsung proses pembuatan batik di Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta.
Aktivitas ini memperlihatkan bagaimana pariwisata dijadikan bagian integral dari pertemuan diplomatik berskala besar, jauh sebelum pariwisata menjadi fokus utama pembangunan seperti saat ini.
Yogyakarta pada tahun 1959 bukan hanya sekadar tuan rumah diskusi pasca perang, tetapi juga panggung pertama bagi Indonesia untuk menegaskan eksistensi dan memamerkan kekayaan budaya serta pariwisatanya kepada delegasi dari seluruh Asia dan Pasifik.
"Sebuah babak sejarah yang membuktikan bahwa kota ini telah lama menjadi jantung diplomasi dan promosi budaya di kancah global," pungkas Wardoyo. (Rsi)
0 Comment